Sejarah Perkembangan Pasar Modal di Indonesia

Sejarah Perkembangan Pasar Modal di Indonesia - Sejarah pasar modal Indonesia ternyata berjalan cukup panjang dan lama. Aktivitas transaksi pasar modal dunia rupanya tidak hanya tiba-tiba hadir begitu saja dan mengukir sejarah di tanah air kita tercina ini. Semua bermula sejak zaman kolonial belanda, era kemerdekaan, hingga sekarang.

Mungkin  taj banyak yang tahu bahwa perdagangan pasar modal di Indonesia sudah berlangsung jauh sebelum negeri ini merdeka. Ya, di zaman penjajahan Hindia Belanda, tepatnya sesudah tahun 1990, keriuhan bursa efek dimulai.

Baca juga : Sejarah Pasar Modal Di Dunia

Bursa Efek Di Era Penjajahan Belanda


Bursa efek atau pasar modal merupakan sejenis pasar dimana para pemilik modal dan pemilik usaha atau perusahaan bertemu. Tempat di mana mereka melakukan transaksi, yaitu pemilik modal akan membeli efek atau surat berharga dari pemilik perusahaan. Sementara perusahaan akan mendapat uang atau dana tunai dari penjualan tersebut.

Sejarah Perkembangan Pasar Modal di Indonesia



Kata 'efek' yang dimaksudkan adalah berupa surat gadai, obligasi, saham, dividen, atau bukti keuntungan, dan semacamnya. Era bursa efek atau pasar modal di zaman kolonial ini diketahui dari catatan tentang kegiatan penjualan saham dan obligasi yang terjadi pada tahun 1892. Salah satu pelopornya adalah sebuah perusahaan perkebunan teh terkenal, Yaitu Cultuurmatschappij Goalpara yang memiliki kantor di batavia. Perusahaan teh ternama ini mengawali dengan mengeluarkan prospektus dan penawaran penjualan untuk 400 lembar sahamnya seharga 500 gulden per sahamnya.

Baca Juga : Mengenal dan Pengertian Saham

Peristiwa penjualan saham ini kemudian diikuti oleh sejumlah perusahaan lainnya di Indonesia atau Hndia Belanda kala itu. Sehingga, melihat peristiwa yang terjadi kala itu, pasar bursa Amsterdam atau Amsterdamsche Effectenbeurs yang berlokasi di Belanda kemudian melakukan ekspansi dengan mebuka cabangnya di Batavia. Hal ini terjadi tepatnya pada tanggal 14 desember 1912. Pada hari itu, sejarah pasar modal Indonesia pun dimulai. Pemerintah Hindia Belanda mendirikan Bursa efek batavia di Jakarta. Bursa efek ini diselenggarakan oleh Vereniging voor de Effectenhanddel.

Berdasarkan pada pengalaman mereka di Belanda, pendirian bursa efek atau stock exchange di Batavia ditujukan untuk menjadi sumber dana bagi pembiayaan perkebunan milik Belanda-Indonesia yang pada saat itu menjadi wilayah jajahan mereka.

Cabang dari bursa efek Amsterdam pun akhirnya resmi berdiri di Batavia. Bursa efek ini merupakan yang keempat di Asia setelah terbentuknya tiga pasar efek lainnya yang berada di Bombay-India(1830), Hongkong-Cina(1871), serta di tokyo - Jepang (1878).

Kehadiran bursa efek di batavia ini sudah jelas memberi angin segar bagi penjajah Belanda, yaitu berupa tambahan dana untuk pembiayaan perusahaan perkebunan milik Belanda yang sedang menjajah di Indonesia. Saat itu, perkebunan merupakan bidang usaha yang sedang maju-majunya. Hal itu juga berimbas pada penjualan saham di bursa efek batavia yang kemudian berhasil go international karena penjualan instrumen efeknya tidak semata dari pasar efek yang berada di Batavia, tetapi transaksi di sana juga melibatkan perusahaan-perusahaan dari luar Hindia Belanda.

Efek yang diperjualbelikan pada saat itu terdiri atas saham dan obligasi dari perusahaan-perusahaan Belanda yang beroperasi di Indonesia, termasuk juga obligasi yang diterbitkan oelh pemerintah Hindia Belanda beserta efek-efek Hindia Belanda lainnya. Hal ini terlihat dari catatan transaksi mereka yang juga melibatkan perusahaan-perusahaan Amerika seperti American Motors, AFC Industry, Bethlehem Steel, dan Anaconda Copper.  

Tak luput, tercatat juga sejumlah obligasi dari Negara Cina juga tercatat sebanyak tiga belas perusahaan sekuritas yang menjadi anggota bursa pada pendirian awalnya. Mereka antara lain ialah Fa.H Jul Joostenz, Fa. Dunlop & Kolf, Fa.Monod &Co, Fa. A.W. Deelman, Fa.Adree Witansi & Co, Fa. Gijselman &Steup, Fa. Jeannette Walen, Fa. Gebroeders Dull, dan lain-lain. Peristiwa ini kemudian diikuti dengan masuknya tiga bank besar di Hindia Belanda ke dalam pasar bursa, yaitu 
Escompto NIHB, dan NHM.

Perhatian : Mantan ketua Bapepam, I Putu Gede Ary Suta pernah mengatakan bahwa pasar modal Indonesia kena 'Patahan Historis'. Pasar modal sekarang ini bukanlah sambungan dengan pasar modal Indonesia di masa penjajahan Belanda maupun pasar modal pada 1950-an. Pasar modal sekarang ini adalah sesuatu bentuk lembaga yang sama sekali baru. Dalam konteks itu, adalah menarik bahwa di antara 'patahan historis' tersebut masih dilihat 'benang merah'-nya. Benang merah tadi adalah semangat pasar modal, suatu kekuatan dashyat yang hidup terus-menerus, baik di kalangan ahli ekonomi, politisi, birokrasi, pialang, atau saudagar surat berharga dan para pemilik uang. (Budi Untung, 2011).

Bursa Efek di Zaman Indonesia Merdeka

Bursa efek di Indonesia bisa dikatakan masih relatif baru dikenal oleh masyarakat luas. Meski sejarah mencatat bahwa bursa efek telah ada sejak zaman Belanda, namun semaraknya perkembangan bursa efek baru terasa sejak akhir 1980-an. Deregulasi ekonomi yang dikeluarkan pada sepanjang tahun 1987-1988, memberi angin segar pada suasana bursa efek yang sempat dorman sejak 1984.

Bursa efek kemudian makin berkembang cepat hingga tahun 1996. Pada saat itu, Bursa Efek Jakarta mencatat bahwa perusahaan yang listing telah berjumlah 253 buah dengan kapitalisasi pasar mencapai hingga 90 miliar dollar USD. Bandingkan dengan jumlah perusahaan yang listing di tahun 1988 yang hanya 24 buah saja. Sementara kapitalisasi pasarnya kurang dari 300 juta dolar Amerika.

Diawali dengan bursa efek pertama di Indonesia yang dibentuk tanggal 14 desember 1912 oleh Voor de Effectenhandel. Tujuannya adalah untuk menambah sumber pembiayaan bagi perkebunan-perkebunan milik Belanda yang bertebaran di Indonesia. Bursa efek pertama di Indonesia ini berkembang pesat. Memicu dibukanya bursa efek kedua di kota Surabaya pada tanggal 11 januari 1925. Saat itu, sudah terdapat 6 buah perusahaan pialang di Surabaya yang bergabung di pasar efek ini. Lalu, diikuti dengan dibukanya bursa efek Semarang 1 Agustus 1925 dengan anggota 4 perusahaan.

Saat itu, para pemain di bursa efek ini masih berputar pada etnis tertentu seperti etnis Arab, belanda, dan Cina. Belum ada orang Indonesia yang tampil sebagai investor. Kala itu, diantara ketiga pasar bursa yang ada, Bursa Efek Batavia-lah yang paling besar. Meski namanya Bursa Efek Batavia, namun belum bisa dikatakan sebagai bursa efek yang lengkap. Sebab, pelaksanaanya lebih mirip seperti berada di lokasi pelelangan, di mana seorang yang ditunjuk akan meneriakkan harga efek. Peserta lalu akan menyambut dengan kata 'beli' atau 'jual'. Jika sepakat dengan harganya, maka tranaksi akan terjadi. Transaksi seperti ini biasanya berlangsung selama dua jam.

Baca Juga :Keuntungan dan Resiko Jual Beli Saham

Tercatat, ada 107 perusahaan yang telah go public hingga tahun 1938 dengan total nilai modal 183,03 juta gulden. Sementara emisi obligasinya senilai 21,75 juta gulden. Penawaran saham paling besar dilakukan oleh perusahaan perkebunan. Langkah go public perusahaan swasta ini juga diikuti oleh pemerintah belanda dengan menerbitkan obligasi. Keputusan ini juga diikuti oleh jajaran dibawahnya seperti pemerintah di daerah-daerah, kota praja, dan seterusnya.

Obligasi yang dikeluarkan mencapai hingga 47,83 juta gulden. Namun, semua ingar-bingar dan keriuhan pasar berakhir saat Perang Dunia II melanda tahun 1940, tepatnya 10 Mei 1940. Bursa efek di Hindia Belanda terpaksa tutup setelah beroperasi selama 28 tahun lamanya. Saat itu, tercatat ada 250 jenis saham dengan nilai mencapai 1,4 miliar gulden. Terjadinya Perang Dunia II kemudian berimbas pada ditutupnya aktivitas di pasar bursa lokal dan dunia.

Setelah Indonesia merdeka, akhirnya bursa efek diaktifkan lagi di era Republik Indonesia Serikat. Berawal dengan diterbitkannya obligasi pemerintah Republik Indonesia tahun 1950. Setelah itu, ditetapkanlah Undang-Undang Darurat  tentang Bursa Nomor 13 pada tanggal 1 september 1951. Dimana pada akhirnya, Undang-undang Darurat ini ditetapkan menjadi Undang-undang Nomor 15 Tahun 1952. Bank Indonesia kemudian ditunjuk sebagai penasihat dan penyelenggaraan bursa diselenggarakan oleh PPUE (Perserikatan Perdagangan Uang dan Efek-efek).

Pemerintah Indonesia terus berusaha mengaktifkan kembali bursa efek dengan tujuan untuk menjadi sarana pembiayaan kegiatan ekonomi. Bapepam lalu dibentuk pada tahun 1977 oleh pemerintah sebagai salah satu usaha yang mengaktifkan bursa. Usaha ini dilandasi oleh adanya kebutuhan akan dana pembangunan yang terus meningkat.

Pemerintah berharap, melalui pengaktifan kembali bursa efek ini, maka dunia usaha kemungkinan besar akan mendapat bantuan untuk pembiayaan jangka panjang usaha mereka. Selain itu, pengaktifan kembali bursa efek jga diharapkan mampu membantu pemerataan hasil-hasil pembangunan. Caranya adalah dengan menjual saham-saham perusahaan di berbagai daerah. Sehingga, hal ini dapat berimbas pada terbukanya lapangan kerja baru serta pemerataan kesempatan melakukan usaha.

Kemudian pemerintah mendorong pertunbuhan pasar modal dengan memberikan fasilitas perpajakan, baik kepada perusahaan-perusahaan yang go public juga para investor dan lembaga-lembaga penunjang terkait, termasuk juga pialang dan sekuritas. Fasilitas perpajakan ini kemudian dihapuskan setelah dimulai diberlakukannya peraturan perpajakan yang baru pada tahun 1983. Sementara pajak penghasilan atas bunga serta tabuingan berjangka lainnya diputuskan untuk ditunda pemungutannya.

Hal ini tentu saja menimbulkan akibat negatif pada iklim investasi di pasar modal yang kemudian menjadi kurang menarik minat para investor. Oleh karena itu, pemerintah pun akhirnya berusaha untuk mendorong kembali pertumbuhan pasar modal dengan mengeluarkan pakt-paket deregulasi.

Pemerintah mendorong pertumbuhan bursa efek dengan cara memberikan fasilitas perpajakan kepada usaha-usaha yang akan IPO, pialang, investor, dan instrumen terkait. Namun pada tahun 1983, peraturan pemerintah tentang pemberian fasilitas ini dicabut. Pemrintah kemudian memberlakukan peraturan perpajakan yang baru, sedangkan pemungutan pajak penghasilan ditunda. Akibatnya, tentu saja memberi imbas negatif pada iklim investasi di bursa efek. Akhrnya pada tahun 1987, untuk mengatasi kelesuan yang menahun ini, pemerintah mengeluarkan paket-paket deregulasi, seperti berikut :


  • Paket Desember 1987
  • Paket Oktober 1988
  • Paket Desember 1988
Poin terpenting dari isi paket diatas adalah mengenai diberlakukanya pajak penghsilan final. Pajak penghasilan final sebesar 15% diberlakukan pada pajak penghasilan atas tabungan deposito serta tabungan berjangka lainnya. Kebijakan ini membuat pemasukan pemodal akibat terpotong pajak penghasilan final 15% menjadi berkurang. Mereka ini lalu berinisiatif mencari cara-cara lain dalam berinvestasi. Dengan demikian, pasar bursa kembali bergerak.

Pada tahun 1996, pemerintah kembali mengeluarkan peraturan mengenai pengenaan pajak final. Lewat Peraturan Pemerintah Nomor 46 tahun 1996, pemerintah menetapkan pajak final atas bunga obligasi sebesar 15% yang sebelumnya adalah sebesar 30%. Ketetapan pemerintah tentu saja membawa angin segar bagi para investor obligasi. Bila sebelumnya pendapatan mereka menurun karena dipotong pajak 30%, sekarang pendapatan mereka dari bunga obligasi akan naik. Hal ini tentu akan menarik lebih banyak lagi investor untuk berinvestasi obligasi.

Tahun 1995, pemerintah mengeluarkan UU No. 8 tentang Pasar Modal. Isinya meliputi perlindungan terhadap kepentingan investor, sehingga mampu menarik semakin banyak investor untuk turun ke pasar modal atau bursa. UU ini memberikan peluang besar bagi para investor dan perusahaan-perusahaan go public untuk menanamkan dananya di bursa efek. Bisa terlihat setelah dilakukannya deregulasi pasar modal, Indonesia mengalami perkembangan yang semakin berarti, dimana para manajer investasi semakin aktif mengelola berbagai produk reksadana, sehingga membuka peluang bagi masuknya pemodal kecil di bursa efek.

Pemerintah kemudian pada PP No. 46 Tahun 1996, menetapkan pajak final atas bunga obligasi sebesar 15%. Dari sudut pandang investor, adanya penurunan tarif pajak dari 30% menjadi 15% ini bisa memberikan insentif yang lumayan. Artinya, akan menaikkan pendapatan bersih mereka dari bunga deposito. Dengan naiknya penerimaan investor dari bunga obligasi, tentu akan lebih menarik buat investor, sehingga bisa menjadikan obligasi sebagai salah satu instrumen guna menarik modal dari masyarakat.

Bisa disimulkan bahwa dengan ikut sertanya masyarakat dalam kepemilikan saham-saham perusahaan-perusahaan melalui bursa efek dan mereka mendapatkan keuntungan berupa dividen dan peningkatan harga saham, otomatis masyarakat bisa ikut menikmati  kemajuan dunia usaha di Indonesia melalui perusahaan-perusahaan yang menjual sahamnya di bursa efek. Hal ini juga bisa memberi imbas positif pada perusahaan-perusahaan tersebut. Karena memperoleh pengawasan langsung dari masyarakat, maka otomatis mereka akan menjaga kinerjanya dalam mengelola perusahaan. Para pemimpin perusahaan juga akan menerapkan sistem menajerial yang lebih profesional tentunya.

Bursa efek sebagai salah satu instrumen ekonomi utama juga bisa dimanfaatka untuk kepentingan berbagai lembaga lokal maupun internasional. Sebab, dengan dibukanya bursa efek akan terbuka pula peluang usaha baru bagi sejumlah instrumen penunjang pasar modal sepeti emiten, pialang, dan lain-lain.

Inilah sebabnya, pemerintah juga memberi peluang bagi swasta untuk mendirikan bursa efek dan bursa paralel di berbagai daerah. Hal ini akan memicu tumbuhnya sentra-sentra ekonomi baru diluar ibukota. Seiring dengan itu, pemerintah juga terus menyempurnakan kebijakan-kebijakannya di bidang pasar modal atau bursa efek.
Mereka yang terlibat di dalam transaksi pasar modal adalah para pelaku utama, yaitu pemilik dana dan perusahaan terkait yang akan go public karena membutuhkan dana segar; ditambah dengan sejumlah elemen pendukung berupa para profesional sepert akuntan, advokat, serta sejumlah institusi-institusi penunjang.

Dengan pemahaman bahwa lembaga-lembaga penunjang ini berfungsi sebagai pendukung di dalam beroperasinya pasar modal. Kehadiran mereka mampu mempermudah emiten dan investor di dalam melakukan transaksi serta berbagai hal yang berkaitan dengan kerjasama mereka di pasar modal. Atau tujuan lain seperti pengalihan pemegang saham dari pemegang saham lama kepada pemegang saham yang baru.

Demikinalah artikel  mengenai Sejarah Perkembangan Pasar Modal di Indonesia , semoga bermanfaat.





0 Response to "Sejarah Perkembangan Pasar Modal di Indonesia "

Post a Comment